Friday, December 6, 2013

Pentingnya Membudayakan Bermusyawarah

July 2, 2011 at 1:44pm

Dalam Islam, musyawarah telah menjadi wacana yang sangat menarik. Hal itu terjadi karena istilah ini disebutkan dalam al-Qur’an dan Hadits, sehingga musyawarah secara tekstual merupakan fakta wahyu yang tersurat dan bisa menjadi ajaran normatif dalam Islam. Bahkan menjadi sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan umat manusia, yang dalam setiap detik perkembangan umat manusia, musyawarah senantiasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan di tengah perkembangan kehidupan umat manusia.
Musyawarah yang diajarkan oleh al-Qur’an bisa dianggap sebagai tawaran konsep utuh yang selalu relevan dengan setiap perkembangan politik umat manusia. Bagaimanapun bentuk konsep politik yang terjadi, musyawarah tetap memiliki relevensi yang tidak terbantahkan, karena musyawarah merupakan ajaran yang bersumber langsung dari Tuhan.

Rasulullah adalah orang yang suka bermusyawarah dengan para sahabatnya, bahkan beliau adalah orang yang paling banyak bermusyawarah dengan sahabat. Beliau bermusyawarah dengan mereka di perang badar, perang uhud, perang khandak dan lainnya. Terkadang beliau mengalah dan mengambil pendapat mereka untuk membiasakan mereka bermusyawarah dan berani menyampaikan pendapat dengan bebas sebagaimana di perang uhud. Di Hudaibiyah Rasulullah bermusyawarah dengan Ummu Salamah ketika para sahabatnya enggan bertahallul dari ihram.

musyawarah adalah berkumpulnya manusia untuk membicarakan suatu perkara agar masing-masing mengeluarkan pendapatnya kemudian diambil pendapat yang disepakati bersama.

Musyawarah pada dasarnya hanya dapat digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya, yaitu mengeluarkan madu. Oleh karena itu unsur-unsur musyawarah yang harus dipenuhi adalah;
a) Al-Haq; yang dimusyawarahkan adalah kebenaran,
b) Al-’Adlu; dalam musyawarah mengandung nilai keadilan,
c) Al-Hikmah; dalam musyawarah dilakukan dengan bijaksana.
Pertama, surat al-Syura, ayat 38:“bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya, mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka.” (QS. Al-Syura: 38)

Ayat ini di turunkan di Makkah (Makiyyah) sebelum hijrah dan sebelum berdirinya daulah Islamiyah (era Madinah). Ini menunjukan bahwa musyawarah merupakan salah satu karakteristik penting yang khas bagi umat Islam, selain iman kepada Allah, mendirikan shalat, saling menolong dalam masalah ekonomi. Oleh karena itu Allah memuji orang yang melaksanakannya.

Musyawarah merupakan salah satu ibadah terpenting. Oleh sebab itu, masyarakat yang mengingkari atau mengabaikan musyawarah dapat dianggap sebagai masyarakat yang cacat dalam komitmen terhadap salah satu bentuk ibadah.

Dari ayat tersebut di atas dapat diketahui, bahwa sebelum masa hijrah, kaum muslimin sudah mengenal musyawarah. Bahkan sebelum agama Islam datang, masyarakat Arab sudah mengenal musyawarah. Sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an, surat al-Naml: 32, bahwa Ratu (Balqis penguasa negeri Saba’) yang hidup pada masa Nabi Sulaiman dalam kepemimpianannya sering bermusyawarah dengan bawahannya.
Kedua, terdapat dalam surah Al-Baqarah, ayat 233 (Madaniyyah):

“Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya (suami isteri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan antara mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya.

Ayat ini tergolong ayat Madaniyyah yang menjelaskan bagaimana seharusnya hubungan suami isteri sebagai mitra dalam rumah tangga saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak mereka (seperti menyapih anak) dengan jalan musyawarah. Allah juga berfirman,

“Bicarakanlah di antara kalian segala sesuatu dengan baik dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu untuknya.” (QS. At-Thalaq: 6)

Ibnu katsir mengatakan, Di dalam menyapih anak, kedua orang tua harus mengadakan musyawarah. Tidak diperbolehkan penyapihan yang dilakukan tanpa ada musyawarah.(12)Lebih jauh lagi, dalam berhubungan rumah tangga (suami isteri) baik masalah pendidikan anak-anak mereka, harta benda, rencana pengembangan masa depan mereka dan permasalahan apapun dalam rumah tangga seharusnya dimusyawarahkan antara suami isteri dan juga anak-anaknya. Yang demikian telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim bermusyawarah dengan anaknya (Nabi Ismail),

Nabi Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Shaffat: 102)
Ketiga, terdapat dalam surah Ali Imran ayat 159 (Madaniyyah):
“Maka dengan rahmat dari Allah engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakkallah kepada-Nya.

Dalam ayat-ayat musyawarah di atas tidak ditemukan satupun Asbab al-Nuzul, baik itu dalam kitab Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul karya al-Suyuthi, Asbab al-Nuzul karya al-Wahidi ataupun dalam kitab-kitab Tafsir Salaf. Namun demikian dalam surah Ali Imran ayat 159 dapat dipahami dari penafsiran para ulama, bahwa ayat ini diturunkan seusai perang Uhud. Ketika itu sebagian sahabat ada yang melanggar perintah Nabi. Akibat pelanggarana itu akhirnya menyeret kaum muslimin ke dalam kegagalan sehingga kaum musyirikin dapat mengalahkan mereka (kaum muslimin) dan umat Islam menderita kehilangan tujuh puluh sahabat terbaik, di antaranya adalah Hamzah, Mush’ab dan Sa’ad bin ar Rabi’. Namun Rasulullah tetap diserukan untuk bersabar, tahan uji dan bersikap lemah lembut, tidak mencela kesalahan para sabahatnya dan tetap bermusyawarah dengan mereka, sebagaimana yang terkandung dalam surah Ali Imran ayat 159.
egitu juga Ibnu Katsir mengatakan, bahwa Rasulullah telah bermusyawarah dengan para shahabat dalam perang Uhud untuk menentukan tindakan, tetap tinggal di Madinah atau keluar mengahadapi musuh. Para sahabat memilih keluar menghadapi musuh, maka keluarlah (pasukan muslim) menghadapi mereka.(14)

Kegagalan ini tidak membuat Rasulullah mencela dan membenci mereka pada peperangan Uhud, namun Rasulullah bersikap lemah lembut pada mereka. Yang demikian Allah memberitahukan, bahwa itu semua merupakan taufik yang Allah berikan pada beliau.(15)

Ayat di atas (QS. Ali Imran: 159) secara tekstual ditujukan pada Rasulullah, namun kandungan perintahnya juga untuk para umat setelahnya secara umum.
Dari ayat-ayat tersebut di atas, dapat diambil pelajaran bahwa musyawarah dilakukan dalam tiga aspek.

1. Musyawarah terhadap persoalan keluarga, hal ini karena dalam kehidupan keluarga, khususnya antara suami dengan isteri, terdapat hal-hal yang harus disepakati dan diatasi sehingga kehidupan rumah tangga bisa berjalan dengan baik.

Dari ayat di atas (QS. 2: 233), juga dapat diambil sebuah pelajaran bahwa dalam kehidupan keluarga, persoalan yang tidak terlalu besar saja seperti menyusui harus disepakati melalui proses musyawarah, apalagi persoalan yang lebih besar dan lebih prinsip dari masalah tersebut.

2. Musyawarah terhadap persoaan-persoalan dalam kemasyarakatan (QS. 42:38).

3. Musyawarah terhadap persoalan politik, perjuangan, kenegaraan dan lainnya. Karena itu, ketika Rasulullah Saw memimpin pasukan perang beliau harus bermusyawarah dengan para sahabat yang menjadi pasukannya. Namun pada saat hasil keputusan musyawarah tidak sesuai harapan, maka hal itu tidak boleh membuat seorang pemimpin menjadi emosional. (QS. 3:159)
C. Kedudukan Musyawarah dalam Islam

Kedudukan musyawarah sangat agung di sisi Allah. Oleh karenanya Allah menyuruh rasul-Nya melakukannya. Allah berfirman,

“Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan.” (QS. Ali Imran: 159).

Dalam ayat ini merupakan perintah Allah kepada Nabi untuk berpegang kepadanya. Kalau Nabi sebagai orang yang ma’sum, diperintahkan untuk bermusyawarah dalam masalah urusan umat, maka umatnya sebagai manusia yang tidak maksum lebih-lebih lagi harus melakukan musyawarah.

Ayat di atas seakan-akan berpesan kepada Rasulullah, bahwa musyawarah harus tetap dipertahankan dan dilanjutkan, walaupun terbukti pendapat yang pernah mereka putuskan keliru. Kesalahan mayoritas lebih dapat ditoleransi dan menjadi tanggung jawab bersama, dibandingkan dengan kesalahan seseorang meskipun diakui kejituan pendapatnya sekalipun.

Rasulullah adalah orang yang paling senang dengan bermusyawarah. Abu Hurairah mengatakan,

“Saya tidak pernah melihat seseorang yang lebih banyak bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya daripada Rasulullah.
Musyawarah telah menjadi bagian dari kehidupan Rasulullah dan para sahabat, sehingga hampir tidak ada yang tidak dimusyawarahkan oleh beliau pada saat mendapatkan masalah, karena selain musyawarah merupakan perintah Allah, musyawarah juga dapat dijadikan sebagai media untuk menyelesaikan segala problem.

Anas bin Malik meriwayatkan, bahwa Rasul bersabda,
“Tidak akan gagal orang yang senantiasa mengerjakan istikharah untuk menentukan pilihan dan tidak menyesal orang yang mengimplementasikan

D. Anggota Musyawarah

Dalam musyawarah dibutuhkan beberapa anggota untuk memecahkan persoalah yang dihadapi. Dengan mengikutsertakan anggota-anggota masyarakat dalam permusyawaratan selain akan menambah ide demi kesempurnaan suatu pemecahan masalah atau suatu rencana, para peserta juga dapat melepaskan suatu yang terpendam dalam hatinya sehingga bebas dari ketidakpuasan dan sekaligus terciptanya rasa memiliki terhadap keputusan tersebut. Perasaan ini biasanya berlanjut pada pertanggungjawaban.

Dalam musyawarah tidak mudah melibatkan seluruh anggota masyarakat, tetapi keterlibatan mereka dapat diwujudkan melalui orang-orang tertentu yang mewakili mereka, yang oleh para pakar diistilahkan Ahl al-Hal wa al-’Aqd(20) atau Ahl al-Ijtihad atau Ahl al-Syura.
Al-Qurthubi dalam tafsirnya menyatakan, dalam urusan hukum agama seharusnya orang yang berilmu. Sedangkan dalam urusan dunia orang yang diajak musayawarah adalah orang yang berakal (mengerti dalam perkara yang dibicarakan).

Imam syafi’i mengatakan, orang yang diajak musyawarah adalah orang yang berilmu dan juga dapat dipercaya. Oleh karenanya, tidak sepatutnya mengajak orang bodoh (tidak mengerti permasalahan) untuk musyawarah, karena tidak ada manfaatnya dan juga tidak mengajak orang yang berilmu tapi tidak dapat dipercaya, karena bisa saja dia malah menyesatkan. Rasulullah bersabda,
“Yang diajak bermusyawarah (diminta pendapatnya) adalah orang yang dapat dipercaya.”

E. Ruang Lingkup Musyawarah

Musyawarah merupakan persoalan yang dapat mengalami perkembangan dan perubahan, oleh karenanya al-Quran menjelaskan petunjuknya dalam bentuk global (prinsip-prinsip umum), agar petunjuk itu dapat menampung segala perubahan dan perkembangan sosial budaya manusia.

Persoalan yang perlu dimusyawarahkan ada dua pendapat, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Qadhi, yaitu: Pendapat pertama: yang dimusyawarahkan adalah urusan dunia, dan pendapat kedua: yang dimusyawarahkan adalah urusan dunia dan akhirat (keagamaan) dan yang ini adalah lebih benar.

Menurut hemat penulis pendapat yang kedua lebih baik dari pendapat pertama. Namun demikian tidak semua persoalan dalam urusan agama dimusyawarahkan. Persoalan-persoalan yang telah ada petunjuknya dari Allah secara qath’i, baik langsung maupun melalui Nabi-Nya, tidak dapat dimusyawarahkan. Musyawarah hanya dilakukan pada hal-hal yang belum ditentukan petunjuknya secara pasti dalam urusan agama.
Inilah di antara yang membedakan antara Musyawarah dalam Islam dengan demokrasi sekuler. Dalam demokrasi sekular persoalan apa pun dapat dibahas dan diputuskan. Tetapi musyawarah yang diajarkan Islam, tidak dibenarkan untuk memusyawarahkan segala sesuatu yang telah ada ketetapannya dari Tuhan secara tegas dan pasti, dan tidak pula dibenarkan menetapkan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Ilahi.

Ali berkata pada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu jika tanpak suatu persoalan pada kami yang belum ada dalam al-Qur’an dan tidak ada keterangan jelas di dalamnya?’ Rasulullah bersabda, ‘Kalian mengadakan musyawarah dalam persoalan dengan hamba-hamba mu’min dan jangan memutuskan pendapat sendiri.”
Adapun methode pengambilan keputusan dalam musyawarah adalah:

Pertama, dalam masalah hukum agama yang tidak qath‘i (pasti) , maka yang menentukan keputusan dalam hal ini adalah faktor kekuatan dalil; bergantung pada yang paling baik (ahsan). Allah berfirman,
”Orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Al-Zumar: 18)

Al-Qusyairi mengatakan, mendengarkan segala sesuatu, namun yang diikuti adalah yang terbaik.

Kedua, dalam perkara yang menjelaskan pelaksanaan suatu aktivitas. Dalam masalah ini, keputusan dikembalikan pada pendapat mayoritas atau dapat dilakukan dengan cara voting. Hal ini sesuai dengan praktik Rasulullah dalam musyawarah saat perang Uhud.

Voting memang bukan jalan satu-satunya dalam musyawarah. Boleh dibilang voting itu hanya jalan keluar (terakhir) dari sebuah deadlock musyawarah. Sebelum voting diambil, seharusnya ada brainstorming. Dari sana akan dibahas dan diperhitungkan secara eksak faktor keuntungan dan kerugiannya. Tentu dengan mengaitkan dengan semua faktor yang ada.
F. Sikap dalam Musyawarah

Sesunguhnya musyawarah adalah di antara bentuk ibadah-ibadah untuk mendekatkan pada Allah.Oleh karena itu, agar musyawarah mendapatkan suatu keputusan yang baik dan diridhai Allah, hendaknya anggota musyawarah memiliki sikap-sikap dalam bermusyawarah sebagaimana yang disebutkan dalam surat Ali Imran: 159 di atas, yaitu:
1: Lemah lembut, baik dalam sikap, ucapan maupun perbuatan, bukan dengan sikap emosiaonal dan kata-kata yang kasar, karena hal itu hanya akan menyebabkan orang-orang meninggalkan majelis musyawarah.

2: Memberi maaf atas hal-hal buruk yang pernah dilakukan oleh anggota musyawarah sebelumnya. Juga dalam bermusyawarah harus menyiapkan mental pemaaf terhadap orang lain karena bisa jadi dalam proses musyawarah itu akan terjadi hal-hal kurang menyenangkan atas sikap, perkataan atau tindak-tanduk orang lain. Manakala sikap pemaaf ini tidak dimiliki dalam bermusyawarah, hal itu akan berkembang menjadi pertengkaran secara emosional dan berujung pada perpecahan yang melemahnya kekuatan jamaah
3: Bertawakkal kepada Allah. Setelah bermusyawarah, seharusnya keputusan yang telah diambil diserahkan pada Allah, karena Dialah yang menentukan segala sesuatu. Ibnu katsir mengatakan, Jika selesai bermusyawarah dan telah membulatkan keputusan, maka bertawakkallah pada Allah.(30) Begitu juga di kemudian hari jika hasilnya tidak sesuai dengan harapan, bertawakkal pada Allah sangat diperlukan, bukan malah saling salah-menyalahkan. Yang demikian itu telah dicontohkan Rasulullah seusai perang Uhud yang memperoleh kegagalan, namun tidak saling salah-menyalahkan
3: Memohon ampun pada Allah. Karena dalam bermusyawarah, merupakan suatu kemungkinan berbuat kesalahan yang tidak disadari, baik pada sesama anggota musyawarah ataupun pada Allah. Oleh karena itu Rasulullah mengajarkan doa kaffaratul majlis. Sebgaimana yang diriwayatkan dari Abdullah bin Ja’far, bahwa Rasulullah bersabda,

“(Doa) penghapus dosa dalam majlis, hendaknya seorang hamba mengucapakan, “Maha Suci Engkau. Ya Allah, aku memuji-Mu yang tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.” Kecuali diampuni dosanya selama dia berada di majlis itu.”

4: Membulatkan tekad. Seharusnya dalam suatu musyawarah membulatkan tekad dalam mengambil suatu keputusan yang disepakati bersama bukan saling ingin menang sendiri tanpa ada keputusan. Kemudian keputusan-keputusan yang telah diambil harus dijalankan
G. Faidah Musyawarah
Di antara faidah-faidah yang dapat dipetik dari musyawarah adalah:(31)
1. Sesunggunya musyawarah merupakan di antara bentuk ibadah-ibadah sebagai pendekatan pada Allah.
2. Memecahkan masalah-masalah yang terpendam dalam hati.
3. Dalam musyawarah terdapat tukar pikiran. Dengan demikian akan menambah ide-ide (baru).
4. Dengan musyawarah tidak akan saling menyalahkan dalam berbuat (karena ada rasa memiliki terhadap isi keputusan musyawarah tersebut dan dapat mempertanggungjawabkannya secara bersama-sama).
5. Jika harapan dalam musyawarah tidak sesuai harapan bukan suatu hal yang hina.

No comments:

Post a Comment